Dampak Banjir Informasi
Pada: 11/13/2020
Era teknologi informasi membawa perubahan yang besar terutama menyangkut akses informasi oleh publik. Saluran informasi tak hanya terbatas pada siaran televisi, radio, atau media cetak seperti dulu. Suburnya pertumbuhan internet dan telepon pintar memberikan alternatif saluran informasi yang jauh lebih banyak dan lebih cepat. Media arus utama mendapat saingan keras dari media sosial. Yang terjadi adalah banjir informasi. Informasi bisa datang dan diperoleh siapapun sejak mereka bangun tidur di pagi hari sampai kembali untuk tidur lagi di malam harinya. Ada pula yang gila informasi, mereka tak akan bisa tidur nyenyak jika belum memandangi layar telepon pintar, mengoprek informasi sembari leyeh-leyeh di peraduannya.
Perubahan seperti itu memberikan dampak positif, yaitu meningkatnya cakupan masyarakat yang makin melek informasi. Tak hanya orang-orang yang tinggal di kota, orang-orang yang tinggal di kampung pegunungan yang dulu sulit terjangkau sarana transportasi dan komunikasi pun kini tak ketinggalan informasi. Akses informasi menjadi semakin merata. Sungguh kemajuan yang luar biasa.
Pada sisi lain, perubahan itu juga memiliki dampak yang kurang baik. Informasi yang mudah diakses dan seringkali datang sendiri tanpa perlu dicari membanjiri masyarakat kita dengan tidak memandang kelas dan status sosialnya. Masyarakat yang belum siap menerima aliran informasi yang begitu deras menjadi kalap. Jangankan masyarakat yang berpendidikan rendah, mereka yang (mengaku) terpelajar pun turut terjebak dalam kekalapan itu. Tak jarang, informasi yang datang ditelan begitu saja tanpa dicerna terlebih dahulu. Ungkapan “teliti sebelum membeli” nampaknya sudah mulai dilupakan. Dengan suka rela atau tanpa sadar informasi itu dibagikan kembali begitu saja kepada rekan sejawat, tetangga, teman dekat, keluarga, atau anggota grup media sosialnya.
Jika informasi yang datang itu berkualitas, tentu tak mengapa. Perubahan menuju hal positif akan menjadi semakin cepat pula. Sayangnya, saat ini justru banyak berkembang informasi yang tidak berkualitas dan cenderung negatif. Para pembuat atau produsen informasi belum bisa bersikap dewasa dalam menyikapi kebebasan berekspresi yang dijamin oleh negara. Mereka anggap, kebebasan itu adalah bebas sebebas-bebasnya, termasuk dalam hal memproduksi informasi yang destruktif. Tentu ini menyedihkan.
Masyarakat Indonesia yang konon dikenal sebagai masyarakat yang santun, penuh nuansa kekeluargaan dalam kebinekaan kini seperti bertransformasi menjadi masyarakat yang mudah terprovokasi dan terkotak-kotak oleh sekat-sekat tertentu. Semestinya kemudahan menerima informasi dan berkomunikasi akan semakin memperkuat rasa kekeluargaan masyarakat kita. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Isu suku, agama, ras, dan golongan kini menjadi bahan yang mudah diolah untuk memancing perpecahan dalam masyarakat. Grup-grup media sosial menjadi ajang membentuk polarisasi masyarakat sesuai suku, agama, ras, atau golongannya masing-masing.
Jika ditilik kembali, penyebab semua itu terjadi pada dasarnya berasal dari dua sisi, yaitu dari sisi penerima informasi dan sisi pembuat informasi. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, masyarakat penerima informasi nyatanya belum siap. Demikian pula para pembuat informasi, sepertinya mereka lebih mengedepankan kepentingannya sendiri, yang jika ditelusuri ujung-ujungnya akan sampai ke urusan duit atau motif ekonomi. Efek kepada masyarakat penerima informasi dinomorduakan.
Menjadi tugas pemerintah untuk mengarahkan perbaikan pada kedua sisi tersebut. Masyarakat perlu diedukasi untuk lebih jeli dalam menjaring informasi dari berbagai media. Budaya berpikir kritis dengan meneliti informasi, melakukan konfirmasi, dan membandingkan berbagai sumber informasi perlu semakin digiatkan. Penggunaan informasi untuk hal-hal yang bermanfaat juga penting untuk menjadi prioritas edukasi. Pada sisi produsen informasi, pemerintah nampaknya perlu menegakkan budaya bertanggung jawab atas informasi yang dihasilkan para produsen tersebut. Pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten dengan tanpa mengebiri kebebasan berekspresi adalah langkah pemerintah yang memerlukan strategi jitu.
Jika perbaikan pada kedua sisi ini secara sekaligus terasa memberatkan, sesungguhnya pemerintah bisa mengambil prioritas pada satu sisi terlebih dahulu. Seandainya masyarakat kita sudah dewasa mencerna informasi, tentu diberi informasi se-hoax apapun tak akan mempan. Atau sebaliknya, kalaupun masyarakat kita belum dewasa mencerna informasi, jika informasi yang diterimanya berkualitas maka lama-kelamaan akan terbangun masyarakat yang semakin baik pula. Saya tak tahu mana yang lebih mudah dilakukan karena tidak memiliki alat ukur yang memadai. Semestinya pemerintah mampu mengukurnya, bukan?
Lebih bagus lagi jika kita sebagai bagian dari warga masyarakat Indonesia, sebagai individu, memulai dari diri kita masing-masing untuk bersikap bijak dan cerdas terhadap segala informasi yang datang. Sekecil apapun upaya dan peran kita, tak ada yang sia-sia jika diniatkan untuk kebaikan, bukan?