Skip to main content

Hukuman Menulis

Oleh: SuharsoPada: 1/05/2021

hukuman menulis

Apa yang orang tua lakukan saat anaknya bandel atau berbuat salah? Pilihannya adalah mengingatkan baik-baik atau menghukumnya. Dua-duanya sebetulnya bertujuan sama: menyadarkan si anak terhadap kesalahannya untuk kemudian memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun pilihan menghukum, terutama yang bersifat fisik atau kekerasan, bukanlah opsi yang populer. Sekarang banyak psikolog atau pemerhati anak menyarankan agar para orang tua lebih mengedepankan cara-cara yang lembut dan penuh kasih sayang dalam mendidik anak.

Beda dengan zaman dulu. Sejauh ingatan saya, memarahi atau memberikan hukuman bersifat fisik itu biasa-biasa saja. Saya pun diperlakukan seperti itu, dalam kadar yang wajar. Nah, memori dan pola masa lalu itu kadang masih terbawa saat saya mendidik kedua anak saya yang masih kelas III dan IV sekolah dasar.

Tatkala anak-anak mulai bandel atau bertingkah aneh-aneh, masih saja saya terpancing menunjukkan kemarahan, atau malah kadang memukul mereka – tentu pada bagian tubuh yang aman. Tak jarang juga saya menjustifikasi tindakan itu dengan mengatakan bahwa bapak mereka ini dulu juga mengalami hal yang sama seperti mereka, bahkan lebih-lebih.

Sebetulnya, hati kecil saya sendiri mengatakan tidak tega juga melakukan hal-hal seperti itu. Apalagi saat menyaksikan reaksi ketakutan anak-anak, dari tatapan matanya yang memelas dan polos itu. Karena itu, saya cari-cari cara menghukum yang berbeda. Beberapa waktu belakangan ini saya coba cara baru. Misalnya, hukumannya saya arahkan untuk melatih ketrampilan hidup, seperti menyapu atau aktivitas bersih-bersih lainnya. Namun, saya rasakan masih ada yang belum memuaskan. Hukuman semacam itu kurang terlihat langsung dampaknya.

Akhirnya saya coba cara yang beda lagi. Ini betul-betul baru bagi saya, walaupun mungkin sudah ada juga yang menerapkannya. Bentuk hukumannya adalah menulis sejumlah kalimat tertentu, yang saling berhubungan membentuk cerita.

Ide model hukuman ini mulai terlintas saat beberapa kali saya menemani anak-anak belajar. Saya perhatikan, urusan menjawab soal pelajaran dengan kalimat yang tepat masih menjadi kesulitan tersendiri bagi mereka. Padahal kalau diminta menjelaskan secara lisan, mereka bisa. Masalah seperti itu kalau ditarik lebih luas juga dialami orang dewasa. Tidak sedikit para pekerja kantoran yang masih belepotan kalau diminta menulis materi tertentu.

Dari situ saya berpikir, model hukuman menulis ini dapat bermanfaat mengasah ketrampilan menulis anak-anak sedini mungkin. Sekaligus melengkapi apa yang sudah mereka dapatkan di sekolah. Lewat hukuman ini anak-anak juga tidak akan merasa tereksploitasi secara fisik.

Selain dari sisi manfaat, hukuman ini juga cukup praktis dari sisi penerapannya. Kadarnya dapat disesuaikan dengan berbagai tingkat kesalahan anak. Misalnya untuk tingkat kesalahan yang sangat ringan, hukumannya cukup menulis lima kalimat. Isinya boleh cerita apa saja. Makin tinggi kadar kesalahannya, dinaikkan pula jumlah kalimatnya. Dan bisa saja kemudian juga dibatasi tema ceritanya. Pokoknya cukup fleksibel, bisa kita setel sesuai keadaan.

Bagaimana pengalaman menerapkannya? Inilah serunya. Awal mula diterapkan, anak-anak masih kebingungan. Apa yang mesti ditulis? Seperti apa tulisannya? Itulah pertanyaan mereka. Saya beri pancingan saja, misalnya saya minta mereka bercerita soal hewan, mainan, atau benda-benda di sekitarnya. Bisa juga cerita aktivitas sehari-hari. Atau cerita ulang kisah dari pelajaran di sekolah. Apa saja, bebas.

Lama-lama mereka paham sendiri. Tentu sesuai takaran anak kecil. Untuk evaluasi, saya minta mereka baca keras-keras hasil tulisan mereka sendiri seperti orang bercerita. Sambil kita simak bersama. Sesi baca bersama itu cukup menghibur. Tulisan yang masih janggal akan terasa lucu ketika dibaca keras-keras. Dan ternyata anak-anak kemudian bisa merasakan dan menilai sendiri apakah tulisan mereka sudah tepat atau belum. Saya beri umpan balik juga, misalnya kalimatnya harusnya ditulis seperti apa dan cerita apalagi yang bisa ditambahkan.

Yang cukup mengesankan, cara anak-anak menulis dengan gaya bertuturnya itu terasa lebih natural. Tidak kaku. Bebas dari kungkungan kaidah-kaidah kepenulisan. Jangan-jangan mereka akan segera menemukan gaya menulisnya sendiri. Sementara bapaknya saja masih bingung soal itu.

Comment policy: Silakan tulis komentar sesuai dengan topik postingan. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar