Skip to main content

Melawan Rasa Khawatir Berlebihan

Oleh: SuharsoPada: 3/29/2020

khawatir

Pernahkah Anda merasakan khawatir luar biasa? Khawatir atau cemas adalah sejenis perasaan negatif yang muncul karena bayangan buruk pengalaman masa lalu. Atau bisa juga disebabkan oleh terbatasnya gambaran situasi yang akan kita hadapi tepat di depan kita.

Misalnya saja, saya berpengalaman buruk dipalak di Terminal Senen. Akibatnya, saya terus berperasaan negatif (khawatir) ketika harus ke terminal itu. Meskipun setelah sekali kejadian pemalakan itu, saya tak pernah mengalaminya lagi saat beberapa kali terpaksa naik bus dari tempat itu.

Parahnya lagi, kekhawatiran saya malah bertambah tinggi ketika kemudian saya mendapat informasi bahwa di sekitar lokasi terminal itu memang merupakan sarangnya para preman. Benar tidaknya saya tak pernah membuktikan. Namun imajinasi saya membayangkan betapa seramnya kalau informasi itu benar adanya.

"Pengalaman buruk ditambah imajinasi negatif makin memperparah tingkat kekhawatiran itu. Kita jadi tidak nyaman berada pada suatu tempat atau situasi, padahal mungkin sebenarnya tidak ada hal yang berbahaya."

Dulu saya sering mengisi materi diklat di unit pelatihan instansi saya bekerja. Pernah juga beberapa kali mengisi pelatihan persiapan sertifikasi profesi bidang audit internal yang saya tekuni. Meski telah beberapa kali melakoninya, tetap saja rasa deg-degan itu muncul.

Biasanya, rasa khawatir jadi makin tinggi ketika saya tak tahu persis siapa yang akan diajar. Atau sebaliknya, saya mendapat informasi bahwa yang akan diajar adalah kalangan pejabat atau para senior yang sudah matang pengalaman. Tentu sulit menebak kira-kira pertanyaan apa yang akan dilontarkan orang-orang yang jam terbangnya tinggi. Belum lagi memikirkan materi macam apa yang layak buat mereka.

Yang kemudian terjadi adalah rasa khawatir terus muncul berseliweran. Kalau sudah seperti itu, saya malah lupa menyiapkan materi dengan baik. Akibatnya, saya tambah grogi saat benar-benar tampil. Beruntung, dalam beberapa kali pelatihan saya berjumpa dengan peserta yang konstruktif. Kalau tidak, apa jadinya.

Demikian halnya di ranah pekerjaan sehari-hari di kantor. Mungkin kita akan merasa begitu khawatir tatkala dipindahkan ke tempat yang baru, lalu tiba-tiba mendapat tanggung jawab mengerjakan tugas besar, waktunya mepet, dan hasilnya ditunggu-tunggu oleh bos besar. Kita mungkin khawatir karena belum bisa menyesuaikan diri, tak menguasai substansi, tak dapat menyelesaikan tugas tepat waktu, atau bahkan sampai gagal memenuhi harapan bos besar itu. Tentulah hal demikian itu tak terkira rasa khawatirnya.

Senyatanya, kekhawatiran berlebihan itu tak akan menyelesaikan masalah. Yang ada justru dapat memperparah keadaan. Saya menemukan artikel menarik tentang hal itu. Judulnya Worry: 3 Reasons Why It’s Killing Your Success. “Kekhawatiran yang berlebihan bisa jadi penghambat kesuksesan!” begitulah pesan yang saya tangkap. Menurut Aaron Force, sang penulis artikel itu, ada tiga alasan yang membuat rasa khawatir berlebihan bisa menghambat kesuksesan kita.

Pertama, kekhawatiran berlebih dapat membuat kita kehilangan momentum dan lupa untuk fokus pada sasaran utama yang kita tuju. Perhatian kita dialihkan untuk memikirkan berbagai skenario buruk (kesalahan-kesalahan). Lalu sibuk berpikir bagaimana mencegah atau mengatasi andai skenario buruk itu benar-benar terjadi. Pikiran jadi banyak bercabang dan tindakan kita juga tidak terarah. Padahal, salah satu kunci sukses adalah adanya fokus yang dijaga secara konsisten.

Kedua, rasa khawatir adalah magnet penarik hal-hal negatif. Kegemaran mengkhawatirkan hal-hal kecil dapat menarik lebih banyak lagi hal-hal negatif dalam hidup kita. Semakin membesar! Selanjutnya energi yang terpancar seolah membawa situasi makin terasa buruk. Perlu diingat, apa yang kita pikirkan itulah yang seringkali terwujud jadi kenyataan. Tak terkecuali bayangan-bayangan buruk. Ngerinya, kenyataannya bisa saja jauh lebih buruk dari yang kita perkirakan.

Alasan terakhir, ini sangat erat hubungannya dengan aspek spiritual. Tuhan menyesuaikan dengan persangkaan hamba-Nya. Jika terus saja berprasangka buruk, kita akan mengalami spiritual block. Spiritualitas kita terkunci. Akibatnya, kita sulit menerima tanda-tanda positif yang ditunjukkan oleh Tuhan lewat alam semesta. Semesta seolah tersaji begitu suramnya di depan kita. Dan lagi-lagi, pintu menuju sukses makin tertutup rapat buat kita.

Rasanya tak ada lagi alasan untuk terus bertahan dalam kekhawatiran. Ketika ia mulai menghampiri, baiknya kita segera berbalik, lalu membangun prasangka positif selagi kekhawatiran itu belum benar-benar membunuh asa. Setuju tidak?

Comment policy: Silakan tulis komentar sesuai dengan topik postingan. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar